Menjawab Penghinaan Asiah Abd Jalil Terhadap Rasulullah

asiah1

SEORANG wanita Islam, Asiah Abd Jalil sanggup menggunakan bahasa yang kurang sopan kepada Rasulullah S.A.W, seorang rasul yang sangat kasih kepada semua umat manusia yang membawa pengajaran kemanusiaan.
asiah2

Dalam facebooknya, beliau menulis “Al-Qur’an tulis, boleh menggauli hamba secara seksual (“…au maa malakat aimaanuhum…”). Malah Nabi juga menggauli Mariatul Qibtiah hingga lahir anak lelaki.

Adakah hukum dan sunnah ini relevan sepanjang zaman, jika dunia sudah menghapuskan perhambaan? Atau mungkinkah umat Islam perlu wujudkan kembali perhambaan, agar selari dengan ayat Al-Qur’an dan sunnah Nabi?”

Frasa ayat quran “”…au maa malakat aimaanuhum…” telah dibuat inferens Rasulullah menggauli Mariatul Qibtiah, seorang hamba.

Dua isu di sini yang sering menjadi kekeliruan yang mungkin boleh menimbulkan pelbagai andaian dan paling biadap, sehingga sanggup menghina Rasulullah.

Ada lagi isu-isu lain yang memperlihatkan beliau mempunyai fikiran yang meragui mengenai Islam, termasuklah hal poligami.

asiah3

asiah4

Dua isu dijelaskan dalam tulisan di sini, iaitu erti maa malakat aimanukum dan perhambaan.  Asiah tentu memahami betapa sejarah yang ditulis dalam buku sejarah, tidak semestinya menggambarkan hakikat yang sebenar, apa lagi sudah berlalu zaman yang panjang.  Buku sejarah tidak ditulis di zaman Rasulullah mahupun sahabat atau tabie.  Perkataan hamba yang kita bayangkan ialah barang dagangan yang boleh dijual beli – seperti diceritakan dalam kisah Nabi Yusuf, yang dibeli dengan harga beberapa dirham.

Ketika zaman Rasulullah, malah sebelumnya lagi, sering berlaku perang dan hukum perang sejak zaman nabi Musa mempunyai undang-undang yang tersendiri.  Misalnya, dalam taurat tawanan perang lelaki boleh dibunuh.  Lihat buku Siratul Nabi oleh Shibli Numani:

hukum-perang

Hamba tidak sama dengan tawanan perang.  Dan, tawanan perang pada zaman Rasulullah dan sebelumnya, tiada penjara seperti hari ini.

Mari perkatikan:

Erti Maa malakat aimaanukum

Berikut diberikan makna istilah ini dengan lebnih tepat ( Boleh rujuk di https://muslimsaja.wordpress.com/2010/08/31/siapakah-maa-malakat-aimanukum-itu/)

“Maa Malakat Aimaanukum” adalah salah satu idiom yang paling disalahpahami, salah penggunaan dan menyalah-gunakan istilah yang dipakai oleh Al-Quran. Pada umumnya dipakai dengan arti “budak wanita”.

Sebelum membahas arti yang benar dari istilah ini, harus diingat terlebih dahulu bahwa ada kata spesifik di dalam bahasa Arab untuk menyebut budak wanita dan kata ini telah digunakan sedikitnya dua kali di dalam Al-Quran, sekali sebagai bentuk tunggal “amatun” yang telah digunakan oleh ayat 2:221 dan yang kedua dalam bentuk jamaknya “imaaun”,  yang telah digunakan oleh ayat 24:32.

“Maa Malakat Aimaanukum” secara harafiah mempunyai arti yang berikut:

–       Apa yang tangan kananmu menguasai

–       Apa yang kamu punyai dengan hak sepenuhnya

–       Apa yang telah kamu punyai

–       Apa yang menjadi hak milikmu

Sekarang apa saja yang dimaksud dengan ”apa yang tangan kananmu menguasai”, ”apa yang kamu punyai dengan hak sepenuhnya”, ”apa yang telah kamu punyai” dan ”apa yang menjadi hak milikmu” ? Hal itu bisa menyangkut:

–       Isterimu

–       Pasanganmu

–       Pelayanmu

–       Kepemilikanmu

–       Budakmu, baik wanita atau pria sebab “Maa Malakat Aimaanukum” mengacu pada jenis kelamin netral, sehingga dapat digunakan untuk wanita atau pria.

–       Tawanan perangmu

Sekarang mari kita selidiki setiap kata kunci dalam istilah “Maa Malakat Aimaanukum”, sedikit lebih lanjut.

Kata “Malakat” itu mempunyai akar mim-lam-kaf  (M-L-K). Pengertian utamanya adalah:

–       menguasai atau memiliki sesuatu atau seseorang, terutama sekali dengan kemampuan untuk memilikinya bagi dirinya sendiri secara eksklusif

Pengertian lainnya meliputi:

–       mempunyai kekuasaan untuk memerintah atau menerapkan otoritas

–       memperoleh

–       mengambil alih

–       menikahi

Sebagaimana yang dapat dilihat bahwa salah satu artinya adalah “menikahi”. Ini adalah menurut salah satu dari kamus bahasa Arab yang dianggap otentik, Lisan-Ul-Arab oleh Ibn-Manzoor Vol. 13, halaman 184. Kamus otentik Arab Modern lainnya juga menguraikan arti ini,  Kamus modern bahasa Arab Hans weir, halaman 1081.

Menurut Lisan-Ul-Arab, al-milaak berarti

–       Perkawinan  pernikahan

–       Ikatan pernikahan yang suci

Menurut kamus yang sama, milaakun juga berarti

– Isteri

Kata “milkun” yang jamaknya “amlaak” berarti:

–       Kepemilikan

–       Tanah

–       Keuntungan

–       Kekayaan

–       Real estate

–       Properti

Kata “mulkun” berarti:

–       Kedaulatan

–       Kerajaan

–       Kepemilikan

–       Hak kepemilikan  (apa yang menjadi hak milikmu)

Dalam istilah “Maa Malakat Aimaanukum”, kata MALAKAT adalah dengan pola masa lalu (madhi), yang mengandung pengertian “Apa yang TELAH kamu PUNYAI”, atau “apa yang TELAH kamu kuasai” atau “YANG TELAH menjadi milikmu”. Secara gramatikal, tidak bisa dipakai dengan pengertian “apa yang AKAN kamu kuasai” atau “apa yang AKAN kamu punyai”. Bentuk masa yang akan datang atau waktu sekarang (mudori’) kata ini sama sekali berbeda dan telah digunakan dalam berbagai ayat Al-Quran  5:17, 5:76, 10:31, 13:16, 16:76, 17:56, 19:87, 20:89, 25:3, 29:7, 34:22, 34:42, 35:13, 39:43, 43:86, 82:19

Sekarang mari kita lihat kata “Aimaanukum”.

Kata “Aimaanun” adalah jamak dari ”Yaminun” dan bermakna “tangan kanan”. Akar dari kata ini adalah ya-mim-nunn Y-M-N.

Kata “Yaminun” juga berarti:

–       Sebuah perjanjian

–       Sebuah sumpah

Kata “Yumnun”, mempunyai akar yang sama dan bermakna:

–       Kemakmuran

–       Kesuksesan

–       Keberuntungan

–       Pertanda baik

–       Kesempatan yang menguntungkan

Sekarang mari kita renungkan tentang “pernikahan” yang juga merupakan sebuah perjanjian  sebagaimana yang diuraikan oleh Al-Quran pada ayat 4:21 dan juga merupakan sebuah peristiwa yang menguntungkan, kemudian terlihat adanya kecocokan dengan penggunaan kata “Aimaanun” dalam konteks pernikahan.

Dari uraian di atas dapat dilihat bahwa “Maa Malakat Aimaanukum”, tidak hanya mengacu pada “budak” yang bisa berjenis kelamin wanita atau pria tetapi juga untuk:

–       Para pasangan

–       Para isteri

–       Para pelayan

–       Para tawanan perang

–       Para bawahan

–       Segala hal yang menjadi hak milikmu

Selanjutnya, ada kata penting lain yang telah digunakan sebagai kata penghubung yang harus pula dipahami maknanya. Kata tersebut adalah “AW”, yang telah digunakan pada ungkapan “aw maa malakat aymanukum”. “AW” pada umumnya diterjemahkan sebagai “ATAU”. Tidak ada keraguan sedikitpun bahwa “ATAU” adalah salah satu dari arti “AW”, tetapi pada kenyataannya, kata ini digunakan tidak kurang dari 12 makna yang berbeda yang juga diterangkan dalam kamus Arabic-English Lane.  Salah satu dari penggunaan kata ini adalah TAFSEEL, yaitu bersifat menguraikan atau menjelaskan. Dengan kata lain, “aw” juga digunakan untuk menambahkan beberapa maksud arti kepada kata yang sebelumnya atau untuk menjelaskan kata sebelumnya atau untuk memberi beberapa atribut atau karakter kata sebelumnya.

Tolong perhatikan ayat 17:110. Pada ayat ini, ada suatu ungkapan “Ud ‘u Allaha AW ud ‘u arrahmana”. Perhatikan secara hati-hati bagaimana kata “Allah” dan “Rahman” dipisahkan oleh kata “aw”. Di sini kata “aw” tidak menyiratkan bahwa “Allah” dan “Rahman” adalah dua eksistensi yang berbeda. Tidak perlu diragukan lagi, bahwa “Allah” dan “Rahman” adalah sama. “Rahman” adalah salah satu atribut Allah”.

Sekarang kita perhatikan ayat 23:6 dan 70:30.

  • 23:6. Illa ’Ala azwaajihim aw maa malakat aymaanuhum fainnahum ghayru maluumiina
  • 70:30. Illa ’Ala azwaajihim aw maa malakat aymaanuhum fainnahum ghayru maluumiina

Pada kedua ayat di atas, “azwaajihim” dan “maa malakat aymaanuhum” dipisahkan oleh “aw”. Di sini tidaklah berarti bahwa “azwaajihim” dan “maa malakat aymaanuhum” itu adalah dua obyek yang berbeda. Sebenarnya, keduanya mengacu pada obyek sama. “azwajihim” YAITU “maa malakat aymanuhum” yaitu “pasangan mereka” yaitu “siapa (orang) yang  mereka kuasai dengan hak sepenuhnya”.

Pada ayat 4:24, istilah “maa malakat aymaanukum” mengacu pada wanita-wanita yang telah menikah, yaitu para isteri kafiriin sebagaimana yang diterangkan oleh ayat 60:10. Ayat 4:24 menjadikan tidak-syahnya menikahi semua wanita yang telah bersuami kecuali para wanita tersebut adalah isteri orang-orang kafir yang menjadi tawanan perang ataupun isteri orang-orang kafir yang hijrah ke komunitas muslimin meninggalkan suaminya yang kafir. Setelah menjadi wanita-wanita beriman, Al-Quran memandang bahwa perkawinan mereka sebelumnya merupakan ikatan tak beriman, alias tidak sah  batal.

Pada ayat 4:3, istilah “maa malakat aymaanukum” bermakna “apa yang telah menjadi hak kuasamu” atau “apa yang telah kamu miliki”.

Pasa ayat 33:52, Nabi dilarang untuk menikahi wanita-wanita lainnya kendati mereka cantik, kecuali MENIKAHI ”ma malakat yamiinuka” (para wanita baik dari kelompok budak wanita yang telah dimiliki Nabi jika ada, pada wanita tawanan perang, para wanita isteri kafiriin yang hijrah (60:10), untuk menjadikan mereka bagian dari keluarga dan mengangkat status mereka (dari pada status mereka sebelumnya yang menjadi budak atau tawanan perang atau janda).

1. Bagaimana caranya berhubungan sex dengan Maa Malakat Aymanukum?.

Karena Al-Quran sudah menggunakan kata AMATUN/ IMAAUN (2:221, 24:32) untuk menyebut budak wanita dan kata ASROO (2:85, 33:26, 76:8) untuk menyebut tawanan perang, maka siapa sebenarnya ’maa malakat aimanukum’ itu ?

Dan barang siapa di antara kamu (orang merdeka) yang tidak cukup perbelanjaannya untuk mengawini wanita merdeka lagi beriman, maka (ia boleh mengawini) wanita muda yang beriman dari ’maa malakat aimanukum’. Allah mengetahui keimananmu; sebahagian kamu adalah dari sebahagian yang lain, karena itu kawinilah mereka dengan seizin tuan mereka dan berilah maskawin mereka menurut yang patut, sedang mereka pun wanita-wanita yang memelihara diri, bukan pezina dan bukan (pula) wanita yang mengambil laki-laki lain sebagai piaraannya; dan apabila mereka telah menjaga diri dengan kawin, kemudian mereka mengerjakan perbuatan yang keji (zina), maka atas mereka separo hukuman dari hukuman wanita-wanita merdeka yang bersuami. (Kebolehan mengawini budak) itu, adalah bagi orang-orang yang takut kepada kesulitan menjaga diri (dari perbuatan zina) di antaramu, dan kesabaran itu lebih baik bagimu. Dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Quran 4:25)

Apakah ayat di atas tidak cukup jelas bahwa Allah sedang menceritakan kepada kita bahwa jika ingin berhubungan sex dengan wanita ini (Maa Malakat Aymanukum) maka HARUS menikahi mereka!.

Pada kenyataannya Al-Quran membeberkan aturan sebuah perkawinan sebagai berikut:

1. Meminta ijin ahlinya/ penanggungjawabnya.

2. Memberikan mas kawin kepada mereka.

Jadi sama sekali tidak ada kesan langsung bisa melampiaskan nafsunya kepada ’maa malakat aimanukum’ ini sebagaimana yang terkesan pada ajaran para Mulah.

Ayat tersebut sedang membicarakan tentang PERKAWINAN dengan peraturannya.

2. Lantas siapakah ’maa malakat aimanukum’ ini ?

Sekarang kita akan membahas inti tentang: ‘Siapakah orang-orang ini’?.

Petunjuk 1: Orang ini dapat TINGGAL di rumah kita!.

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah MALAKAT AIMANUKUM, dan orang-orang yang belum baligh di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat al-fajr, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar) mu di tengah hari dan sesudah shalat Isya. (Itulah) tiga `aurat bagi kamu. Tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. Mereka melayani kamu, sebahagian kamu (ada keperluan) kepada sebahagian (yang lain). Demikianlah Allah menjelaskan ayat-ayat bagi kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (24:58)

Petunjuk 2: Orang ini TERGANTUNG secara finansial kepada kita !.

Dia membuat perumpamaan untuk kamu dari dirimu sendiri. Apakah ada diantara ‘maa malakat aimanuku’ sekutu bagimu dalam (memiliki) rezeki yang telah Kami berikan kepadamu; maka kamu sama dengan mereka dalam (hak mempergunakan) rezeki itu, kamu takut kepada mereka sebagaimana kamu takut kepada dirimu sendiri? Demikianlah Kami jelaskan ayat-ayat bagi kaum yang berakal. (30:28)- Juga 4:36

Petunjuk 3: Mereka adalah suatu ‘pengecualian’ terhadap perkawinan pada umumnya.

“dan (diharamkan juga menikahi) wanita-wanita yang telah dinikahi, kecuali ’maa malakat aimanukum’. Allah telah menetapkan bagi kamu …” (4:24)

Ayat ini menunjukkan bahwa ‘maa malakat aimanukum’ adalah kelompok wanita yang bersuami namun boleh dinikahi.

Ringkasan:

  1. Wanita yang bisa dijadikan pilihan untuk dinikahi (4:3, 25, 23:5-6, 33:50, 52, 70:29-30)
  2. Adalah merupakan pengecualian dari kelompok wanita bersuami yang boleh dinikahi (4:24), misalnya isteri-isteri orang-orang kafir yang meninggalkan suami mereka dan meminta perlindungan kepada kita (60:10).
  3. Atau wanita yang mempunyai wali atau penanggungjawab (4:25), karenanya harus meminta ijin Ahlinya jika ingin menikahi mereka;
  4. Lelaki atau wanita yang tergantung secara finansial kepada kita (4:36, 16:71, 30:28);
  5. Lelaki atau wanita yang tinggal serumah dengan kita (24:31, 58, 33:55);
  6. Lelaki atau wanita yang terikat perjanjian (24:33)

Jadi ‘Maa Malakat Aymanukum’ itu bisa juga para janda yang mungkin hidup seatap dengan kita dan tergantung secara finansial dengan kita.

Perkawinan kepada para wanita ini diizinkan oleh Allah dengan tatacara yang sedikit berbeda dibandingkan dengan wanita lainnya.

Mengenai hamba pula, telah dihuraikan sebelum ini.  Namun, untuk ini sekali lagi disertakan satu artikel yang sangat tepat mengenai perhambaan:

Oleh Hj. Nik Muhd. Salleh Musa, Kota Bharu , Kelantan, 1970
slave
Apabila berbicara tentang Islam, orang sering menekankan bahawa tiada perhambaan dalam Islam dan disaksikan sepanjang perkembangan sejarah. Walaupun perhambaan telah menjadi perkara lazim yang amat lama dan sukar dihapuskan di dunia, tetapi Islam muncul untuk menghapuskannya.

Mengapakah kebanyakan ahli tafsir ayat-ayat Al-Quran pada sesuatu hukum selalu menyebut supaya memerdekakan sahaya? Maksud memerdekakan sahaya atau abdi ini menepati satu konsep perhambaan yang masih berlaku dalam Islam; sedangkan dalam sejarah, Islam adalah anti-perhambaan.

Islam membawa kesejahteraan kepada seluruh umat manusia di dunia ini.

Nama Muhammad (S.A.W.) sendiri sebagai al-Muddasthir dan al-Mahi sebagai tenaga yang menghapuskan kekafiran dan perhambaan di bumi.

Banyak ayat Al-Quran yang menyebut abd yang diterjemah oleh kebanyakan ʿulamaʾ kita sebagai sahaya, iaitu orang yang dimiliki untuk kegunaan dalam perusahaan oleh suatu golongan kapitalis.

Adakah pengertian ini menepati dengan konsep sebenar Islam yang bersikap anti perhambaan?

Dalam buku The Reform Of Thought And Religion Of Sayyed Ahmad Khan, halaman 44, disebut bahawa Sir Sayyed Ahmad Khan pernah berpendapat bahawa selepas Rasul Allah (S.A.W.) menawan Makkah, iaitu selepas 8 tahun Hijrah, tidak ada lagi perhambaan dalam Islam dan pendapat beliau disokong dengan keterangan-keterangan Al-Quran sendiri dalam Surah Muhammad, ayat (4).

Keterangan ini tidak dapat menjelaskan perkara yang sebenar mengenai perhambaan yang tersebut dalam Islam.

Keterangan Syed Ahmad Khan, pengasas Universiti ʿAligarh, ʿulamaʾ reformer yang terkenal ini tidak menafikan adanya perhambaan dalam Islam.

Beliau hanya mengatakan perhambaan itu sudah hapus sekarang, selepas tahun 8 Hijrah. Maksudnya, perhambaan itu sebenarnya wujud sebelum itu.

Banyak pendapat ʿulamaʾ kita menyebut istilah “sahaya” sebagai orang yang patut dimerdekakan.

Dalam kebanyakan penterjemahan ayat-ayat Al-Quran istilah “al-abd” atau “al-riqab” diterjemah sebagai “hamba sahaya”.

Kalimah “patut dimerdekakan” atau “hendaklah kamu memerdekakan seorang atau dua orang hamba sahaya” sebagaimana yang banyak termaktub dalam ayat-ayat Al- Qurʾan, bukan ditujukan kepada perhambaan (slavery) sebagaimana kebanyakan penterjemahan yang dibuat; tetapi kalimah ini merupakan tuntutan untuk kebebasan bekerja, kebebasan berfikir, kebebasan mengeluarkan pendapat atau secara lebih luas sebagai saranan untuk membebaskan manusia dari sebarang ancaman bersifat fizikal dan mental.

Kekeliruan ini menimbulkan tuduhan bahawa Islam sebenarnya menggalakkan perhambaan, dan kebanyakan Orientalis Barat sering mengambil kesempatan dari kesilapan kita mentafsirkan ayat-ayat Al- Qurʾan ini untuk menentang dan menjatuhkan Islam.
slave1
Kita pernah menolak dengan tepat berdalilkan perkembangan sejarah dan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri.

Sebenarnya, apabila kita mengkaji dengan teliti keterangan dan pernyataan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri, jelas seperti matahari, bahawa perhambaan itu tidak pernah sekalipun disebut dalam mana-mana ayat juga.

Malah unsur perhambaan ini tidak terdapat walaupun sebesar kaki semut dalam ayat-ayat Al-Quran.

Demikian juga tidak tersebut sedikitpun dalam mana-mana hadith baik dalam kitab-kitab hadith yang besar dan sahih atau kitab hadith yang diragukan.

Kalau disebut istilah “al-abd” itu bukanlah menerangkan perhambaan, tetapi suatu pernyataan masyarakat yang sebenarnya dari kalangan penduduk dunia ini.

Mengikut keterangan ayat-ayat Al-Quran, bahawa manusia di dunia ini terbahagi kepada tiga jenis.

Pertama, golongan manusia yang digelar al-hur, iaitu golongan yang pintar, merdeka daripada segi fizikal dan mental yang selalu menggunakan kepintaran mereka untuk memimpin masyarakat.

Golongan al-hur ini selalu muncul sebagai pemimpin yang unggul memerdekakan negara dan membina masyarakat. Golongan inilah yang banyak mencorakkan kehidupan masyarakat hingga ke akhir zaman.

Golongan al-hur ini, contohnya para sahabat besar Rasul Allah (S.A.W.) seperti Abu Bakr, Umar al-khatab, ʿUthman bin ʿAffan, ʿAli bin Abi Ṭalib, Saʿad bin Abi Waqas, Talhah, Zubir ibn Awwam, Abu Ubaidah dan banyak lagi.

Pada zaman-zaman kemudian sedikit, seperti al-Kindi, al-Farabi, Ibni Khaldun, al-Ghazali, Ibn Rusyd, Ibn Majah, Salahuddin al-Ayyubi, Shah Wali Allah al-Dihlawi, Ahmad Khan, Abu al-Kalam Azad, dan banyak lagi.

Dari kalangan bangsa Eropah, seperti Spinoza, Descartes, Rousseau, Napoleon, Hitler, Lenin, Stalin dan banyak lagi dari golongan al-hur ini.

Sebenarnya, mereka adalah pemimpin masyarakat dan negarawan yang terkenal.

Dengan daya berfikir dan kepintaran mereka yang dikurniakan Allah, mereka dapat membentuk masyarakat ke arah suatu konsep hidup yang tertinggi mengikut ijtihad mereka.

Contohnya, Lenin membentuk masyarakat Rusia mengikut konsep sosialis, berbeza daripada bentuk masyarakat Britain di bawah konsep Liberal-Kapitalis.

Golongan ini memimpin dan membina masyarakat dan negara mengikut konsep yang mereka fikirkan.

Daripada segi mentalnya, golongan ini adalah paling tinggi dalam kalangan manusia. Golongan ini melahirkan karya-karya yang agung, pahlawan yang terunggul dan pakar sosiologi yang terkenal. Golongan al-hur ini bekerja dengan tekun untuk kesejahteraan umat manusia. Dari golongan ini juga Tuhan membangkitkan para nabi dan rasulNya.

Kepintaran dan sikap mereka menguasai ilmu adalah kurniaan Allah yang sudah ditentukan untuk golongan ini. Melalui golongan inilah Allah menyampaikan segala sunahNya untuk manusia. Golongan ini juga disebut sebagai al-Rasikhun fi ilm.

Kedua, golongan al-ʿabd iaitu rakyat biasa yang mesti dipimpin, mesti diajar, mesti dikawal. Golongan al-ʿabd ini merupakan bahagian terbesar dari warganegara sesebuah negara.

Mereka memenuhi sesuatu tempat untuk menentukan keramaian penduduk dan bekerja sebagai petani, nelayan, buruh, guru, tukang atau mereka memenuhi keperluan perusahaan sebagai pemandu, pekerja dan sebagainya.

Mereka ini perlukan pimpinan golongan al-hur dari kalangan pakar sosiologi, saintis dan pentadbir yang cekap.

Inilah yang dimaksudkan oleh ayat-ayat Al-Quran dan hadith Nabi (S.A.W.) dengan istilah al-abd – bukannya hamba sahaya yang memenuhi konsep perhambaan.

Istilah “al-riqab” dalam pengertiannya yang jelas ialah orang tawanan perang.

Konsep ini jelas dalam surah Muhammad, pada ayat (4). Memerdekakan tawanan perang adalah satu rukun perdamaian yang sangat perlu dihormati.

Sikap ini dilakukan di mana sahaja pada zaman moden sekarang. Hal ini juga dilakukan oleh Rasul Allah (S.A.W.) setelah selesai peperangan, dengan suatu penukaran berupa harta atau pelajaran. Contohnya. Orang tawanan Peperangan Badar dituntut supaya mengajar menulis dan membaca sepuluh orang anak orang Islam sehingga pandai, kemudian orang tawanan perang itu dibebaskan.

Jika ayat-ayat Al-Quran menyebut supaya memerdekakan mereka (al-ʿabd), bukanlah membebaskan mereka dari perhambaan oleh seseorang majikan, tetapi setiap orang dari golongan al-hur membebaskan mereka dari kebodohan, membebaskan mereka dari kemiskinan, mengajar mereka dan memimpin mereka supaya mereka menjalankan kewajipan mereka dengan sempurna

.

Dalam konteks negara kita sekarang, pemimpin kita hendaklah memberi pekerjaan kepada rakyat yang menganggur.

Maka, ertinya tidak bermaksud perhambaan, tetapi ditujukan kepada kewajipan rakyat biasa yang tentu sahaja lebih bodoh, lebih perlu kepada pemimpin dan lebih mudah menerima pengajaran.

Inilah satu tuntutan Al-Quran yang paling mulia terhadap sifat dan peri kemanusiaan supaya setiap orang mendapat pekerjaan.

Memerdekakan al-ʿabd (rakyat) itu dalam konsepnya yang luas supaya mereka dibebaskan daripada buta huruf, dibebaskan dari menganggur, dibebaskan daripada ketakutan, dibebaskan daripada sikap memuja-muja orang perseorangan, dan lebih jauh lagi supaya mereka bebas menjalankan kewajipannya terhadap negara seperti orang lain juga.

Ketiga, golongan al-untha, iaitu golongan perempuan dan golongan kanak-kanak.

Maksud perempuan atau wanita di sini ialah daripada segi umum jenis mereka; kerana daripada segi yang khusus, kadang-kadang mereka juga menjadi golongan al-hur sama dengan golongan al-abd yang melahirkan al-hur.

Golongan wanita ini, pada umumnya perlukan pimpinan sebagaimana golongan rakyat biasa. Wanita dan anak-anak mesti mendapat layanan dan tunjuk-ajar yang selayaknya. Mereka mesti diberi pengertian untuk menjalankan kewajipan mereka terhadap masyarakat, negara dan bangsanya.

Dari kalangan anak-anak, mereka mesti dibesarkan mengikut disiplin dan peraturan yang disusun dengan sebaik-baiknya oleh golongan pertama tadi.

Daripada susunan dan pentadbiran yang baik daripada golongan pertama, menimbulkan kerjasama yang erat dari golongan kedua dan mencerdaskan golongan ketiga.

Kombinasi ketiga-tiga golongan ini dapat melahirkan sebuah masyarakat yang aman dan sejahtera.

Pengertian-pengertian inilah sebenarnya dibentangkan oleh Al- Quran dan hadith Rasul Allah (S.A.W.).

Sifat dan unsur perhambaan tidak tertera sedikitpun.

Perhambaan yang di tulis dalam terjemahan-terjemahan ayat itu hanya satu kekeliruan kerana tiada suatu pengkajian sejarah dalam bidangnya yang luas, tidak ada penerokaan dalam ilmu sosiologi manusia pada keseluruhannya.

Besar kemungkinan terjemahan-terjemahan atau pentafsiran-pentafsiran itu dilakukan untuk kepentingan golongan feudal yang masih mengamalkan perhambaan, walaupun mereka Islam.

Golongan ini memperalatkan para ʿulamaʾ yang opportunist.

Maka, nyatalah, tidak ada perhambaan dalam Islam sejak awal lagi. Hanya kesilapan dalam mentafsirkan ayat-ayat Al-Quran menimbulkan perhambaan dalam teorinya.

Semoga dengan dua artikel ini dapat menjawab keresahan fikiran Asiah Abd Jalil, dan menjaga kesucian agama Islam.

8 thoughts on “Menjawab Penghinaan Asiah Abd Jalil Terhadap Rasulullah

  1. …cuba baca blog dia pada tahun 2014..kalau tak silap…bagaimana dia menjadi sebagai seorang student Law….seorang isteri…seorang ibu kepada deretan anak….suami yang selalu tiada disisi …..menguruskan segalanya sendiri…..dapat saya gambarkan keadaan rumahtangganya……inilah merupakan rentetan awal (saya kira) disamping beberapa siri kekecewaan lainnya ..dan kemudianya bersahabat pula dengan makhluk Allah yang hilang arah hidup….akhirnya membentuk dirinya kini…..semoga cahaya hidayah akan kembali kepadanya…Tiada Kekuatan Melainkan Kekuatan Allah…

    Like

  2. Bila baca sejarah kehidupannya…memang dapat faham mengapa dia mempunyai sikap begini. Hidup dia penuh ranjau …dan tidak jua menolak pengaruh persekitaran yangkurangmenyokong kearah pemahaman Isalm yang sebenar …sekalipun dia punyai asas pendidikan Islam yang baik

    Like

  3. Sikap kak asiah ni.. Mcm sikap abdullah bin saba’ masa zaman sahabat.. Cuba nak pesongkan islam.. Dn buat agama baru.. Luaran nampk baik.. Tudung labuh.. Sekali keluar ayat, rasulullah pun dia sanggup cakap mcm tu.. Ingat banyak tentang hukum Allah je.. Tak sangka sampai cakap yg bukan2 pasal nabi pulak,mmg melampau..

    YaAllah.. Lindungilah umat islam yg mencintai agama Allah dgn agama yg benar… Janganlah dikau pesongkan hati kami setelah engkau memberi hidayah pada kami.. Aamin..

    Like

  4. Asiah Abd Jalil menulis “Al-Qur’an tulis, boleh menggauli hamba secara seksual (“…au maa malakat aimaanuhum…”). Malah Nabi juga menggauli Mariatul Qibtiah hingga lahir anak lelaki.

    Asiah tidak faham isi kandungan Al Quran dan Sejarah Nabi SAW.
    Maria Al Qibtiyyah adalah ISTERI Nabi SAW dan bukanla Hamba Sahaya.

    Rasullullah SAW bersabda: Sesungguhnya syarat yang paling berhak untuk dipenuhi ialah syarat kerananya kamu menghalalkan kemaluan wanita (Syarat Nikah).
    Sahih Muslim No.2542.

    Ini bermakna Nabi SAW bernikah dgn Maria Qibtiyyah dan SAH sebagai isteri.

    Narrated Amr bin Al-Harith: (The brother of the wife of Allah’s Apostle. Juwaira bint Al-Harith) When Allah’s Apostle (Prophet Muhammad) died, he did not leave any Dirham or Dinar (i.e. money), a slave or a slave woman or anything else except his white mule, his arms and a piece of land which he had given in charity .(Bukhari volume 4, Book 51, Number 2)

    Mariah al Qibtiyyah hidop 5 tahun selepas wafatnya Baginda Rasulullah SAW.
    Jelas dlm semua hadith2, sekiranya Maria Qibtiyyah bertaraf hamba, tentu dinyatakan didlm hadith2 bahwa Nabi SAW ada meninggalkan seorang atau 2 org hamba tetapi TIADA seorang hamba ketika
    Nabi SAW wafat.

    ” To Muhammad Ibn ‘Abdullah from Muqawqis, the chief of Qibt”. Peace to you. I have read your letter and have noted the contents. I knew this much that a prophet was to come. But I had expected him to appear in Syria. I have extended an honourable welcome to your messenger and am sending two girls who are highly[sic] respected among the Qibtis (Egyptians) and I offer as a present some cloth and a mule to ride on.”
    (Sirat Un Nabi, p.153 Vol.II)

    Dinyatakan ” two girls who are highly respected among the Egyptian”

    Dua beradik gadis Kristian ( Maria Qibtiyya dan Shirene) dari keturunan baik2 dan
    sangat dihormati dikalangan Qibtis..BUKANNYA dari golongan bawahan Hamba..

    “It is reported from ‘Abdullah al-Zubairi who said: that after this the

    Noble Prophet married (tazawwaju) Mariah daughter of Sham’un.
    (Sahih al-Mustadarak Hakim, Volume 4, page 36).

    Hadith Sahih yg mengesahkan bahawa Maria Al Qibtiyah bernikah dgn Baginda Nabi SAW
    dan adalah isteri Nabi SAW dan beliau bukan la sebagai Hamba.

    Kenyataan Asiah Abd Jalil adalah TIDAK BENAR.

    Like

  5. Cik Asiah ni takut suaminya berpoligami kot. itu sebab dia suruh haramkan poligami. lagi pun dia sudah tua dan anak ramai. kalau suami tinggalkan susah apa dia cakap besar, wanita bolih berdikari sendiri. ugama lain sentiasa kaji al qur’an, dia pula melawan hukum al qur’an. Asiah ni sama dengan siti kasim?…….bolih pakai otak macam ni. terlebeh cerdik>……….

    Like

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.